8 Juni 1995
“Coba kamu lihat menara itu,” ucap engkongku
saat kami sedang berada di saung di tepi pagar bandara, “menara itu dulu
dibangun di atas sawah punya engkong.”
Engkong, itulah panggilan untuk kakekku.
Mungkin terdengar aneh, tetapi buat aku yang lahir dan besar di lingkungan dengan
budaya Betawi yang sangat kental, hal itu lumrah.
Sejak kecil aku sangat dekat dengan engkong.
Kami sering berbincang, tentang apa saja. Tentang pesawat yang lalu lalang di
atap rumah kami, tentang dua ekor anak kucing yang baru sebulan lalu dilahirkan,
atau tentang teman karibku di sekolah yang pandai sandi morse. Tempat favorit kami
untuk berbincang adalah saung di tepi pagar bandara internasional terbesar di
negeri ini, yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Engkong bilang, di tempat
itulah kita bisa melihat dunia lebih dekat, melihat burung besi lalu lalang
membawa penumpang ke seluruh penjuru dunia.
Seperti sore ini, engkong bercerita bagaimana
sawah warisan eyang buyut, lahan tempat engkong biasa menanam padi, harus rela
digusur demi pembangunan jembatan dunia ini. Beberapa kerabat dekat juga rela
pindah karena rumah mereka ikut tergusur. Banyak yang berkorban agar negeri ini
punya jembatan ke belahan bumi yang lain.
“Hampir semua orang di kampung kita ini
turut berkorban. Tetapi setelah bandara itu jadi, kita semua hanya bisa
menikmati pemandangannya, tanpa pernah tahu bagaimana rasanya naik burung besi itu.”
“Engkong ‘kan sudah pergi haji, bukankah
harus naik burung besi untuk ke Arab?” tanyaku penasaran.
“Kala itu belum banyak yang tahu burung
besi, Cu. Kapal air menjadi pilihan utama untuk pergi haji”
Aku terdiam.
“Suatu haru nanti, kamu pasti bisa naik burung
besi itu, dan ajaklah keluarga yang lain agar semua pengorbanan mereka bisa
terbayar.”
“Tapi
Ngkong, naik burung besi itu kan mahal. Untuk diriku sendiri saja aku belum
tentu mampu, bagaimana aku bisa mengajak keluarga yang lain juga?”
Engkong hanya tersenyum seraya berkata, “Cu,
ketika kamu menginginkan sesuatu, maka semesta alam akan berkonspirasi untuk
mewujudkan keinginanmu.”
Aku tertegun dan takjub mendengar Engkong mengutip kalimat Paulo Coelho yang
sangat termasyhur itu.
…………………………
17 November 2012
Drrrrrt
drrrrrrrrt
Telepon genggamku bergetar.
“Ndri, Air Asia lagi ada promo tuh.
Katanya mau naik burung besi?”
Teman karibku sejak SMA, yang sangat
tahu keinginanku untuk naik burung besi bersama keluargaku, mengirimkan pesan.
Mungkin ini saatnya aku membayar semua pengorbanan engkong dan kerabatku yang
lain, mewujudkan apa yang pernah diucapkan engkong. Tetapi, siapa aku? Aku baru
beberapa bulan lulus kuliah. Penghasilanku belum seberapa, itupun harus
dipotong untuk membantu orang tuaku dan juga untuk tabungan bekalku menikah.
……………………………….
19 November 2012
“Engkong, aku akan mewujudkan apa yang
pernah Engkong katakan dulu. Aku akan naik burung besi! ”
Senyum engkong merekah seketika, “Benarkah?
Ke mana kamu akan pergi, Cu?”
“Aku akan ke Singapura, Ngkong!! Tapi…,” terasa berat untuk
melanjutkan kalimat berikutnya.
Engkong mengernyitkan dahi, bingung
dengan perubahan nada bicaraku.
“Tapi…., aku hanya membeli untuk diriku
sendiri. Aku belum bisa mengajak keluarga yang lain. Tiketnyapun aku beli
karena ada promo dari Air Asia dengan harga yang sangat murah.”
Engkong menghampiriku, tangannya yang
keriput mengelus kepalaku.
“Tidak apa, Cu. Engkong tetap bangga sama
kamu. Akhirnya kamu bisa membayar pengorbanan kami, kamu akan naik burung besi
itu. Satu hal lagi, kamu mencetak sejarah di kampung kita. Kini ke luar negeri
bagi kampung kita tidak lagi hanya untuk pergi haji.”
“Tapi aku janji, Ngkong, suatu saat nanti aku akan mengajak
keluarga yang lain untuk ikut merasakan naik burung besi itu, Engkong juga pastinya.” kataku semangat
dengan mata berbinar.
Engkong memelukku erat.
“Keinginanmu pasti terwujud.” bisik engkong
pelan, tapi mantap. Semantap keinginanku.
…………………………
Sabtu, 3 Mei 2014.
Pagi ini aku disibukkan dengan hobi
baruku yang mulai muncul setelah aku menikah, menjadi panitia pernikahan. Sejak
tadi malam, aku sudah berada di Gedung Antam untuk memastikan semua persiapan
berjalan lancar. Kali ini aku bertugas menjadi penanggung jawab dekorasi dan katering,
tugas yang selalu membuatku semangat.
“Bang,
engkong sakit. Sekarang dirawat di RSU Tangerang.” Pesan
singkat dari adikku seketika memadamkan binar di mataku, binar yang selalu
terjaga setiap aku menjalankan hobiku ini.
Selama acara berlangsung konsentrasiku
terpecah. Aku ingin segera bertemu engkong. Sudah satu bulan berlalu sejak
pertemuanku yang terakhir dengan engkong. Setelah menikah aku memang sudah
tidak lagi tinggal bersama kedua orang tuaku dan engkongku.
Segera setelah acara selesai, aku dan
istriku menuju RSU Tangerang, tempat engkong dirawat. Di tengah perjalanan,
telepon genggamku berdering. Aku berharap bukan kabar duka yang aku terima.
“Engkong telah tiada, Ndri.” suara bapakku
pelan terdengar di ujung telepon.
Darahku seolah berhenti mengalir, seperti
semua kendaraan di sekelilingku. Kemacetan akibat rombongan pejabat yang
melintas ini, membuatku semakin tenggelam. Aku ingin cepat sampai rumah dan
bertemu engkong, untuk terakhir
kalinya.
Janjiku
pada engkong belum terwujud bahkan hingga engkong terbaring tak bernyawa
dihadapanku. Aku terpaku. Orang berlalu lalang,
tampak hanya kilasan warna di sekelilingku. Orang bicara, hanya terdengar
sebagai gumaman tak berarti. Aku kesepian, kesepian di tengah keramaian. Udara di
ruangan yang hangat karena banyaknya pelayat yang datang, tak berlaku bagiku. Aku
menggigil. Aku kedinginan, kedinginan dalam kesendirian.
……………………………….
23 Agustus 2014
Seperti biasa, sepulang kantor aku
langsung menuju kawasan Kuningan untuk menjemput istriku. Pompa bensin di
samping Menara Mega Syariah rasanya sudah sangat akrab denganku, apalagi kursi
pojok kanan di depan toilet. Setiap hari aku duduk di sana, menunggu kehadiran
istriku sambil memperhatikan antrian kendaraan yang kian mengular di jam pulang
kantor. Terkadang bila bosan menunggu, aku bermain Candy Crush di telepon genggamku atau memantau lini masa di akun
sosial media. Seperti sore ini, aku membuka Twitter, mencari tahu berita
terkini mengenai hasil sengketa Pilpres. Mataku tanpa sengaja tertuju pada “kicauan”
dari @TrinityTraveler, seorang penulis perjalanan terkenal. @TrinityTraveler memberikan
informasi dan tautan artikel mengenai lomba blog
yang berhadiah satu paket perjalanan untuk 2 orang ke Nepal.
Hmm,
mungkin ini salah satu jalan untuk mewujudkan janjiku kepada engkong, batinku.
Senyumku mengembang sempurna. Istriku
yang ternyata telah berdiri di hadapanku kebingungan melihatku tersenyum
sendiri. Aku langsung menggamit istriku menuju parkiran untuk mengambil motor. Kemacetan
dari kawasan Kuningan hingga Depok rasanya belum pernah terasa semenyenangkan ini.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Tulisan
ini dibuat untuk mengikuti Kompetisi Blog 10 Tahun AirAsia Indonesia, dengan
Tema Bagaimana AirAsia Mengubah Hidupmu, dengan
hadiah menarik, perjalanan ke Nepal, Penang dan Bali!
Niceee.. Ndun :') Semoga menang! Aamiin
Aamiiin. Tengs ya Della..